Ngedan adalah salah satu implementasi yang paling extreem dari sebuah bentuk laku pasrah sumarah dumateng GUSTI atau dalam istilah saat ini adalah ihklas...
Karena ilmu ihklas sangat sulit sekali dilakukan karena untuk mencapai keihklasan yang total adalah HARUS menjadi GILA, atau istilah adalah EDAN diantara orang waras dan waras diantara orang edan.
Knapa bisa seperti itu :
Kita akan dikatakan gila seandainya kita hidup berbeda, pada saat orang lain sedang tergila" mengejar duniawi maka kita malah sibuk mencari TUHAN dan keTUHANan itu sendiri, dengan laku ketempat sepi untuk bertapa atau mengheningkan diri mencapai taraf Alfa... tidak kurang kurang kita akan dikatakan sebagai kaum musyrik atau kafir pada saat kita malam malam kemakam dan bedoa semalam suntuk... padahal inti dari itu semua adalah mencari tempat tenang atau sepi buat mendengarkan suara TUHAN....
Dan pada saat kita mencari TUHAN, karena kita tahu bahwa suatu saat kita akan PULANG padanya. Tidak seperti orang pada UMUMnya yang tergiur oleh benda TITIPAN GUSTI yaitu harta benda, bahkan sampai rela melakukan korupsi bahkan yang paling gila adalah membunuh demi mendapatkan harta, pada saat itulah kita bisa dibilang WARAS diantara orang GILA...
Maka orang dulu selalu mengatakan ilmu ihklas adalah paling susah diantara semua ilmu karena pertimbangannya adalah RASA, dan pada kita sudah total ihklas maka kita akan dekat dan sangat dekat pada GUSTI...
" Celoteh orang GILA dipagi hari karena ga pernah bekarja seperti orang umumnya....
salam santun
KI HADI SURYO PAMUNGKAS
Rahasia Ilmu Metafisika
Menjadi sehat, sukses, kaya lahir batin, dan menguasai ilmu Metafisik dengan mudah.
Jumat, 15 Agustus 2014
Selasa, 01 Juli 2014
Pasrah lan Prihatin
Sikap hidup orang Jawa yang diwarisi dari leluhurnya terjelma didalam lelaku dan usahanya untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Sikap hidup yang demikian itu tampak dan diwujudkan sebagai sikap ‘prihatin’, yang intinya sikap hidup yang sederhana tidak berfoya-foya menghamburkan waktu & uang atau melampiaskan hawa nafsu untuk mendapatkan kenikmatan semu yang sementara saja.
Orang yang prihatin bukan berarti selalu bersedih-sedih, tidak menikmati hidup, senantiasa berpuasa, bersemedi, tetapi prihatin berarti bersikap, berpikir dan bertindak dengan penuh kesederhanaan, sesuai dengan kemampuan & kompetensi masing-masing.
Ajaran keprihatinan mengandung unsur kesederhanaan yang senantiasa terjelma dalam tatanan kehidupan tradisi, budaya dan spiritual kejawen. Dengan prinsip keprihatinan dan kesederhanaan tersebut setiap orang pasti akan dapat mencapai sesuatu yang maksimal sesuai dengan tolok ukur dan kemampuan masing-masing pribadi, tidak dengan tolok ukur orang lain terutama untuk sesuatu yang sifatnya berlebihan dibandingkan dengan kemampuan pribadinya. Sikap laku prihatin diatas sejalan dengan sikap yang selalu bersyukur dan ikhlas menerima setiap karunia Illahi.
Ajaran tentang lelaku dan ngelmu kejawen juga menunjukkan konsep kesederhanaan dalam berpikir dan berbuat, intinya sebaiknya kita tidak memimpikan menggapai bintang dilangit, tetapi hendaknya meraih saja apa yang mampu kita raih, yaitu belajar ngelmu yang bermanfaat dan mampu menjadi bekal hidup dan sarana untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan alam kelanggenggan nantinya.
Berserah diri hakekatnya sama dengan “tapa ngeli” menghayutkan diri pada “aliran sungai” kehendak Hyang Widhi (kareping rahsa) yang akan menjamin kita sampai pada muara keberuntungan memasuki samodra anugrah Tuhan. Tapi orang kadang tanpa sadar telah salah pilih, menghanyutkan diri pada “air bah” (rahsaning karep/keinginan jasad) sehingga arahnya berbalik meninggalkan samodra anugrah Tuhan menuju ke daratan, menyapu dan merusak apa saja yang dilewatinya. Menerjang wewaler, merusak kedamaian dan ketentraman, tata krama, aturan, dan segala macam tatanan.
Pun, bagi yang dapat melakukan “tapa ngeli” tetap harus sambil berenang (eling dan waspadha) agar tidak tewas tenggelam. Bukan berarti, kita menyerahkan 100 % kemauan (inisiatif) kita kepada Tuhan. Karena sikap ini sama saja membangun sikap fatalistis. Lantas menganggap nasib buruk, kegagalan, penderitaan, kesulitan yang menimpa dirinya sebagai takdir Tuhan. Secara tidak sadar sikap itu seperti halnya mengkambinghitamkan Tuhan dan menafikkan tugas ihtiar manusia. Berserah diri 100 % artinya kita tetap memiliki inisiatif untuk berjuang dan berusaha, hanya saja harus menempuh cara-cara atau prosedur yang mentatati rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebab letak kodrat ada di dalam prosedur dan cara-caranya, bukan pada garis nasib. Merubah nasib itu menjadi tanggungjawab kita sendiri. Hanya saja tata cara dan rumus-rumus merubah nasib, sudah disediakan Tuhan. Bila kita menggunakan rumus Tuhan, pastilah akan menuai sukses besar. Sebaliknya akan menuai kerusakan diri sendiri, orang lain, dan bumi. Manusia jenis inilah yang menjadi seteru Tuhan.
Proses tetap menjadi tugas utama manusia. Kegagalan bisa jadi karena manusia tidak mentaati rumus Tuhan. Atau Tuhan sengaja menggagalkan upaya manusia sebab Tuhan maha mengetahui dan selalu menentukan yang terbaik untuk manusia.
Hidup ibarat seni, perlu manajemen seni untuk menjalankan irama kehidupan sehari-hari sesuai kehedak Tuhan. Kejadian yang sama belum tentu memiliki makna dan hikmah yang samapula. Itulah sulitnya menerjemahkan kehendak Tuhan, krn Tuhan “bekerja” dengan cara yang misterius. Akan tetapi Tuhan Maha Adil, telah memberikan instrumen dalam jati diri kita berupa rahsa sejati dan guru sejati, sebagai alat paling canggih yang dapat menangkap bahasa isyarat dan kehendak Tuhan. Sayangnya masih banyak orang yang belum mengenali instrumen dalam diri pribadi setiap manusia tersebut.
Kodrat meliputi rumus-rumus ilmu Tuhan yang Mahaluas tak terbatas. Discovery, penemuan ilmiah bidang sains, teknologi dan knowledge, teori-teori filsafat, sosial ekonomi, politik, psikologi, kedokteran merupakan bukti nyata kesuksesan manusia dalam mengejawantah rumus-rumus (kodrat) dan kehendak Tuhan. Bahkan banyak di antara tokoh penemu sains dan teknologi, temuan mereka berkat diawali oleh sebuah ilham atau wisik gaib. Kadang dengan didahului oleh kejadian unik yang menjadi jalan penunjuk ke arh penemuan baru. Dalam bahasa yang lebih ilmiah disebut sebagai talenta atau bakat alami. Seorang ilmuwan penemu, tidak akan tergantung apa sukunya, bangsanya, bahkan agamanya. Inilah salah satu bukti jika Tuhan itu tidak primordial, anti sektarian dan puritan. Tapi mengapa ya manusia sering kebangeten dengan berulah dan bertabiat kontraversi dengan “sikap” Tuhan tersebut ?
Sebagai bangsa yang agamis, harus berani jujur mengakui, telah kalah langkah dari orang-orang dan bangsa yang justru sering dianggap sekuler dan kafir yang kenyataannya mampu membuktikan diri berhasil menangkap rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Hal ini terjadi mungkin karena orang sibuk bertengkar gara-gara perbedaan nilai-nilai pada tataran “kulit”, sekedar “baju” . Sehingga hidupnya selalu dirundung rasa curiga mencurigai sesama (su’udhon). Manakah yang lebih religius ? Mana pula yang sekedar agamis ? Jika kita tetap negatif thinking dan menutup mata, jangan menyalahkan siapa-siapa bila selamanya ketinggalan dalam segala hal dan jatuh dalam keterpurukan. Padahal, kenyataannya orang yang dapat meraih kemajuan dan kemuliaan hidup, adalah orang yang selalu berpikiran positif. Sebaliknya, tiada bosan-bosannya mengkritik diri sendiri.
Ngunduh Wohing Pakarti
Agama Hindu dan Budha menyebutnya Hukum Karma.
Secara umum orang mengartikan kata karma dengan demikian seram. Saking seramnya, sering muncul nasehat untuk tidak melakukan suatu kesalahan atau dosa, agar tak kena karma. Kesan yang muncul pun seakan-akan karma itu negatif, hanya ganjaran bagi perbuatan salah. Pokoknya ganjaran yang sifatnya menyeramkan. Karma senantiasa dibicarakan sebagai yang tidak baik.
Sejatinya pengertian karma
itu tidaklah demikian. Karma arti sebenarnya adalah perbuatan. Karma dapat juga diartikan sebagai hasil dari perbuatan itu. Karena sesungguhnya antara perbuatan dan hasilnya tak pernah bisa dipisahkan. Suatu perbuatan itu sudah satu paket dengan hasilnya, bagaikan dua sisi mata uang.
Selanjutnya, yang dikatakan perbuatan itu adalah pikiran, perkataan, dan tindakan. Mana saja yang dilakukan di antara ketiganya akan berbuah atau membuahkan hasil. Demikianlah karma itu, sehingga karma dianggap sebagai sebuah hukum, yang memiliki kepastian, yang pasti berlaku. Hukum karma demikian ia disebut. Atau lengkapnya disebut dengan hukum karma phala.
Hukum karma phala adalah hukum aksi reaksi, hukum sebab akibat. Oleh karena ada suatu sebab maka akan ada suatu akibat. Oleh karena ada satu aksi, akan ada suatu reaksi, dan seterusnya. Hukum inilah yang mengatur kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos, kehidupan di alam semesta dan kehidupan semua mahluk hidup.
Kadangkala keberadaan hukum karma disamakan dengan nasib, bahkan suratan takdir. Di balik itu perlu dipahami bahwa suratan itu ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, sama sekali bukan oleh orang atau pihak lain. Kalau perbuatan yang dilakukan baik, ya pasti hasilnya akan baik juga. Kalau yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak baik, ya hasilnya juga demikian.
Kitalah yang mendesain nasib kita, bukan orang lain, bukan juga ditentukan sedemikian adanya oleh Pencipta. Tuhan memang diyakini sebagai causa prima, penyebab utama, tetapi dalam hal ini Beliau sebenarnya hanya sebagai saksi abadi. Beliau hanya mencerminkan, memantulkan, dan bereaksi. Apa yang diperbuat demikianlah terpantulkan kembali kepada yang berbuat. Beliau telah membekali manusia dengan akal/pikiran, budi, ketidakterikatan, perasaan kagum serta hormat. Semua itu sebagai alat timbang untuk melakukan mana yang baik atau buruk, mana yang benar atau yang salah. Semua “alat “ itu, yang merupakan anugrah dan kelebihan manusia di antara mahluk lain, yang hendaknya digunakan secara benar untuk mencapai cita-cita rohani dan tujuan jasmaniah.
Sifat Hukum Karmaphala
1.Abadi: keberadaan hukum ini dimulai pada saat alam semesta ini ada dan akan berakhir pada saat pralaya (kiamat). Walaupun demikian, tidak ada seorang pun yang tahu kapan penciptaan dan berakhirnya alam semesta ini. Inilah yang menjadi rahasia Pencipta. Penciptaan alam semesta bersamaan dengan penciptaan hukum-hukum yang bekerja secara amat sangat canggiiiih sekali dan memiliki ketepatan yang tiada tara. Hukum grafitasi diciptakan bersamaan dengan diciptakan-Nya alam semesta. Kebetulan saja ada mahluk Tuhan yang bernama Isaac Newton yang menggunakan akal/pikiran dan budinya dengan baik, sehingga berhasil mengungkap “keberadaan” dan “cara kerja” hukum ini, walaupun sebelumnya pun kalau ada benda yang dilemparkan ke atas, pasti akan jatuh lagi ke bumi. Lalu manusia lain mengakuinya dan menamakan hukum ini dengan “hukum Newton”.
2.Universal: hukum ini berlaku pada setiap ciptaan Tuhan,. Di mana pun berada, bagaimanapun wujud ciptaan itu, hukum ini berlaku baginya. Mempercayai atau tidak mempercayai keberadaan hukum ini, jika masih berada di alam semesta ini, hukum ini tetap bekerja baginya. Kalau ia berbuat baik, hasilnya pasti baik juga, dan hasilnya dia juga yang akan menikmatinya. Kalau sebaliknya, ya demikian juga. Kalau ada anggapan bahwa hanya kalau berbuat dosa saja kena hukum karma, ya inilah salah kaprah yang luar biasa.
3.Berlaku sepanjang zaman: pada zaman apa pun hukum ini tetap berlaku dan tidak mengalami perubahan. Baik pada zaman satya (kerta) yuga, treta yuga, dwapara yuga, kali yuga hukum ini tetap berlaku. Kalau di zaman sekarang (yang diidentifikasi sebagai zaman kali, zaman terakhir) sepertinya hukum karmaphala ini tidak lagi efektif bekerja, ya anggapan itu keliru lagi. Kalau kelihatan bertentangan, itu hanya penglihatan dan analisis manusia yang sangat terbatas, yang tidak mampu melintasi dan menggabungkan berbagai fakta dari zaman lainnya dengan lengkap. Demikian singkatnya pengetahuan dan pemahaman manusia tak mampu mengungkap lintas zaman tadi, karena rentang waktunya demikian lamaaaaa sekali, yang ribuan bahkan jutaan kali rentang umur manusia. Sedangkan pengetahuan tentang diri dan perbuatannya semasa bayi atau anak-anak saja tak tersimpan lagi di memorinya, bagaimana mau menyimpan peristiwa lintas zaman?
4.Sempurna: karena kesempurnaannya, kerja hukum ini tak dapat diganggu-gugat, diubah atau dipaksa berubah. Sifatnya konstan dan tidak berubah dari zaman ke zaman. Hukum ini hanya dapat “ditaklukkan”dengan cara mengikuti alur kerjanya, diiringi dengan keihklasan yang dalam. Kalau menurut penglihatan dan analisis manusia, dia menerima hasil yang tidak sesuai dengan perbuatannya, bisa dipastikan penglihatan dan analisisnya itu tidaklah lengkap. Kalau rasa-rasanya telah dan selalu berbuat baik, lalu hidupnya begitu-begitu saja atau malah menderita sepanjang hayat, mesti ada yang belum terungkap. Ada mata rantai kausalitas yang menyebabkan demikian. Itulah yang tak mampu dijangkau nalar, pikir, dan budi manusia. Karena bak iklan sebuah produk, hukum ini mengikuti yang berbuat atau yang berkarma kapan dan di manapun berada.
Jenis Hukum Karmaphala
Hukum karmaphala diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Bisa berdasarkan masa kehidupan, berdasarkan unsur triguna, berdasarkan kesucian, kebenaran, tri sarira, dan berdasarkan hasilnya. Lebih jauh jenis-jenis atau pembagian hukum karmaphala itu dapat dijelaskan di bawah ini.
1. Berdasarkan waktu atau masa kehidupan, karmaphala dibagi atas sancita, prarabda, dan kriyamana atau agami.
a. sancita karmaphala: sancita bisa diumpamakan sebagai tabungan masa lalu. Masa lalu dalam pengertian ini bukan hanya berkisar kehidupan ini saja. Masa lalu yang dimaksudkan adalah masa yang telah lewat dan melintasi berbagai kelahiran. Tabungan itu bisa berupa hasil perbuatan baik atau sebaliknya. Tabungan itu masih ada sampai kini, dan tetap bekerja mempengaruhi jalan hidup seseorang. Inilah terjemahan nasib atau suratan. Sancita karma bisa menjawab dan menjelaskan berbagai perbedaan nasib seseorang saat ini.
b. prarabda karmaphala: adalah karma pada kehidupan saat ini. Apa yang dialami dalam hidup ini adalah buah atau hasil perbuatan masa lalu dan usaha yang dilakukan saat ini. Buah perbuatan masa lalu, kalau masih ada sisa, saat inilah waktunya dipetik. Hal inilah yang menjelaskan fenomena bahwa ada orang yang selalu berbuat baik dalam hidupnya kini, tapi hidupnya tidak ada peningkatan atau malah menderita. Ada yang kelihatannya tidak banyak berbuat baik atau malah melakukan dosa, tetapi kehidupannya tetap baik-baik saja, harta melimpah, dst. Dengan senyum-senyum saja (bintang iklan, misalnya), beberapa orang bisa memperoleh uang jutaan. Sebaliknya, ada yang seharian membanting tulang, hasilnya hanya pas buat makan hari itu. Semua itu adalah pengaruh dari sancita, tabungan masa lalu, yang saat ini sedang dinikmati hasilnya. Sancita karma dan prarabda tak bisa dipisahkan. Sancita menjelaskan berbagai perbedaan dan “ketimpangan” nasib hidup manusia di masa yang sedang dialaminya kini. Sancita pula yang bisa menjawab mengapa ada yang lahir dengan wajah gagah, atau cantik, lalu memiliki bekal hidup material yang lebih dari cukup. Lalu, ada yang lahir dengan kekurangberuntungan, baik fisiknya maupun bekal hidup.
Lalu, di mana pengaruh prarabda? Apa tidak ada gunanya? Mari dilihat perumpamaan berikut. Kita andaikan perbuatan masa lalu adalah garam yang terlanjur banyak dimasukkan ke dalam sayur. Sayurnya jadi asin. Karena sudah terlanjur, perbuatan itu tak bisa dibatalkan. Garam itu tidak bisa lagi dipungut. Kita hanya bisa menikmati asinnya. Nah, rasa asin ini bisa dikurangi dengan menambahkan air ke dalam sayur tersebut. Perbuatan menambahkan air inilah yang bisa diandaikan dengan prarabda karma. Bukankah tetap ada gunanya? Demikian pula usaha yang dilakukan dalam kehidupan sekarang bisa mengurangi penderitaan sebagai akibat perbuatan masa lalu. Kalau kita menderita sebenarnya kita sedang “melunasi” hutang sisa perbuatan itu.
c. kriyamana karmaphala: adalah karma yang sedang dibuat untuk masa depan. Dapat diumpamakan sebagai kegiatan menabung. Hasilnya bisa dinikmati saat kehidupan ini atau pada hidup sesudah kehidupan ini. Inilah yang memberikan optimisme bagi manusia. Kriyamana adalah harapan masa depan, yang saat ini sedang dirangkai. Dengan bekal manah (akal, pikiran) dan budi, manusia diberi kebebasan menentukan masa depannya. Manusia bisa menyusun sendiri bagaimana bentuk kehidupan yang diinginkan. Inilah kelebihan manusia yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta.
2.Berdasarkan unsur triguna; triguna terdiri atas unsur satwah, rajah, dan tamah. Ketiganya masing-masing membentuk wikarma, sahaja karma, dan akarma.
a. wikarma: adalah karma yang dihasilkan dari guna satwah, yang sifatnya satwik. Satwah adalah sifat-sifat dalam diri manusia yang dipengaruhi secara kuat oleh Dharma. Yang dapat digolongkan dalam karma yang wikarma antara lain: berkata yang benar dan lemah lembut, bekerja dengan teliti, tenang; berpikir yang benar dan jernih, dan sebagainya.
b.sahaja karma: karma ini dihasilkan dengan guna rajah, sifatnya disebut rajasik. Sifat ini mengarahkan dan mempengaruhi manusia sehingga penuh gairah keinginan, terburu-buru, kurang sabar, dan sebagainya. Bila manusia melakukan berbagai kegiatan dengan sifat-sifat rajasik ini, itulah yang dinamakan sahaja karma. Hasilnya sudah bisa diduga.
c.akarma: sifat tamasik yang mempengaruhi manusia untuk menghasilkan akarma. Tamasik bisa disejajarkan dengan kemalasan. Kadang-kadang akarma dikatakan sebagai tidak berbuat. Arti ini tidak sepenuhnya benar. Tidak ada manusia yang benar-benar tidak berbuat sama sekali. Manusia dibuat tak berdaya oleh hukum karma ini untuk berbuat dan berbuat, walau dalam bentuk yang sangat pasif. Dalam diam pun manusia berbuat, paling tidak manah atau pikirannya yang “berkelana”.
3. Berdasarkan kesucian: atas dasar kesucian perbuatan, karma dibagi menjadi subha karma dan asubha karma.
a. Subha karma: subha artinya suci, jadi subha karma adalah perbuatan yang suci, perbuatan baik. Pikiran yang penuh kedamaian, hati yang penuh rasa kasih sayang, akan menghasilkan ucapan, perkataan, dan tindakan yang similar, sejajar, dan searah dengan itu. Konsep karma memang menyangkut ketiganya (pikir, ucapan, dan tindakan).
b. Asubha karma: huruf a didepan kata subha membuat makna penyangkalan. Dengan penyangkalan, muncul makna sebaliknya dari yang di atas. Perbuatan-perbuatan yang didasari kegelisahan, kebencian, kekerasan, amarah, dan sebagainya, dikategorikan sebagai asubha karma.
Dalam kaitannya dengan kedua karma berdasarkan kesucian ini, mucul anekdot bahwa bila kita tidak banyak memiliki tabungan perbuatan baik, maka bila ajal menjemput, kita akan dijemput asu. Yang dimaksudkan bukanlah anjing (asu dalam bahasa Jawa dan Bali berarti anjing), melainkan asubha karma ini.
4. Berdasarkan kebenaran: dengan faktor ini, karma dibagi menjadi sat karma, dush karma, dan mirsa karma
a. Sat karma: adalah karma yang dilaksanakan dengan dasar Dharma (kebenaran). Semua perbuatan yang berlandaskan Dharma dianggap sebagai sat karma.
b. Dush karma: kebalikan dari sat karma disebut dush karma. Dasar perbuatan dush karma adalah yang bertentangan dengan Dharma, seperti yang berdasarkan kroda, moha, matsarya, kama, dan sebagainya.
c. Misra karma: campuran antara sat karma dan dush karma disebut mirsa karma. Manusia pada saat ini, pada zaman kali yuga ini, umumnya melakukan atau menerima hasil karma ini. Karena umumnya manusia kini melakukan keduanya. Tidak ada yang 100 % jahat, atau 100 % baik. Sejahat-jahatnya perampok, selama hidupnya ia pasti pernah berbuat baik.
Semua hasil perbuatan ini akan kembali ke padanya. Hasil perbuatan baik atau hasil perbuatan buruknya, hanya dial ah yang akan menerimanya, bukan orang lain. Kalau yang lebih banyak adalah perbuatan buruknya, maka setelah meninggal ia akan menerima hasil perbuatan baiknya terlebih dahulu, kemudian baru menerima hasil perbuatan buruknya. Kalau sebaliknya, lebih banyak perbuatan baiknya; justru ia akan menerima hasil perbuatan buruknya terlebih dahulu, baru kemudian hasil perbuatan baiknya yang dinikmatinya. Jadi tidak ada perbuatan yang sia-sia atau yang tidak dipetik hasilnya menurut hukum karma ini. Tidak ada neraka abadi bagi manusia, bagi manusia jahat sekalipun. Sebaliknya, tidak ada juga surga abadi. Karena surga dan neraka hanya persinggahan sang atman, untuk menentukan “baju” atau badan lain yang cocok dengan hasil karmanya tadi (BG.II.22, Swargarohana Parwa).
5. Berdasarkan tri sarira: tri sarira adalah tiga jenis badan manusia, yakni stula sarira/badan kasar atau fisik (tangan, kaki, kepala, dsb), suksma sarira atau badan mental, dan badan penyebab (karana sarira).
a. Karma fisik: jenis karma ini berakibat pada badan fisik manusia, misalnya saja makan yang kurang teratur akan menyebabkan tubuh sakit.
b. Karma astral: karma astral adalah karma yang berasal atau berakibat pada perasaan, misalnya saja ucapan yang lemah lembut akan berakibat pada perasaan yang akan menjadi senang. Atau berbicara tentang makanan enak pada siang hari akan berakibat pada timbulnya rasa lapar, dan sebagainya.
c. Karma mental: badan mental manusia akab kena pengaruh karma ini. Senantiasa berpikir baik dan positif akan berakibat pada ketenangan diri, kebahagiaan, kedamaian, kegembiraan, rasa optimis dan seterusnya. Perlu dicatat ini juga adalah karma.
6. Berdasarkan hasilnya, phala atau buah atau hasil suatu karma dibedakan atas dua jenis, yaitu: Vishaya (Wishaya) karma, dan sreyo karma.
a. Wishaya karma, disebut juga karma yang mengikat. Keterikatan akan hasil perbuatan adalah wishaya karma. Melakukan suatu perbuatan karena ingin memperoleh imbalan, atau ada pamrih di balik perbuatannya. Jika diperkirakan tidak ada hail baginya, maka tidaklah ia melakukannya. Ketergantungan kepada hasil perbuatan inilah yang dikatakan wishaya.
b. Sreyo karma, adalah membebaskan diri dari ikatan terhadap hasil perbuatan. Kegiatan yang dilakukan dengan tanpa berharap akan hasilnya bukan berarti kerja dengan asal-asalan. Prosesnya tetap diletakkan pada pelaksanaan penuh kompetensi. Bila dilaksanakan dengan kompetensi penuh, lalu ditambah lagi dengan keikhlasan dan tanpa berharap hasil bagi diri sendiri, niscayalah pada pelaksanaannya saja sudah mendatangkan kebahagiaan. Bila mendatangkan kebahagiaan, apalagi saat pelaksanaannya sudah dirasakan, maka karma itu dikatakan atmananda. Seperti pada awal tulisan ini dikatakan bahwa antara perbuatan dan hasilnya tidak dapat dipisahkan, bagai dua sisi mata uang. Tanpa diharapkan pun hasil itu akan datang. Cepat atau lambat, hal itu pasti adanya.
Cipta Rasa Karsa Teori ke Dua
Ketika The Secret terbit, gemanya nyaris memenuhi planet ini. Dunia seolah tersentak, The Secret tidak lagi menjadi rahasia bagi siapapun.
Dalam pandangan Rhonda, The Secret adalah rahasia kesuksesan yang dimiliki tokoh-tokoh besar dan sejumlah orang sukses dari berbagai belahan dunia sejak zaman 3000 tahun sebelum Masehi hingga abad modern sekarang.
Berpijak pada Hukum Ketertarikan (Law of Attraction), Rhonda Byrne berhasil mengemas The Secret menjadi sebuah karya menakjubkan dalam bentuk buku, website dan DVD. Pundi-pundi uangnya pun bertambah.
Apa yang dikatakan Rhonda benar adanya. Setiap bangsa di dunia memiliki resep sukses yang cenderung memiliki kesamaan dengan bangsa lainnya di dunia, termasuk Indonesia.
Dalam tradisi budaya Nusantara, resep sukses itu terangkum dalam istilah cipta, rasa dan karsa. Tiga komponen kata tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan (tritunggal). Pada masa lalu, kemampuan manusia dalam mengolah cipta, rasa, karsa telah menghasilkan peradaban menakjubkan.
Cipta, rasa dan karsa merupakan kekuatan manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Inilah yang melahirkan peradaban besar di masa lalu, sebagaimana ditunjukkan orang-orang yang hidup pada masa Majapahit, Mataram, Singasari, Demak, Sriwijaya, dll. Begitupula dengan tokoh-tokoh besarnya, seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, Sultan Agung, Prabu Siliwangi, Wali Songo, Sukarno, Arupalaka, Diponegoro, dll.
Itulah sebabnya, umumnya orang-orang tua dahulu sering mengatakan bahwa apabila kita bisa menyelaraskan 3 komponen kata di atas, maka kita akan bisa merasakan nikmatnya kehidupan (kemakmuran dan kebahagiaan).
Ketiga komponen (cipta, rasa dan karsa) tersebut merupakan bagian dari sistem kebudayaan Nusantara yang tak terpisahkan dari bingkai utamanya, yaitu spiritualitas.
Penyederhanaan Makna
Makna cipta, rasa dan karsa memang terkesan sulit dipahami. Terutama pemahaman hakekatnya. Banyak yang mengetahui ketiga istilah tersebut, tetapi tidak banyak yang mengetahui cara menggunakannya. Penyederhanaan diperlukan untuk lebih memahami maknanya, sehingga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila dikaji lebih jauh, ternyata makna ketiga kata itu sederhana. Meski begitu, terdapat perbedaan cara dalam menerapkannya. Perbedaan itu terletak dalam tradisi daerah masing-masing (budaya turun temurun, seperti ritual-ritual, tapa brata, kaharingan, kejawen, dll.) dan dalam tradisi dengan unsur keagamaan samawi, seperti puasa, zikir, tarekat dan ajaran tasawuf. Tetapi hakekatnya tetap sama.
Secara singkat dapat dikatakan, cipta berarti keinginan menciptakan sesuatu (tahap awal berada dalam pikiran). Dibutuhkan kekuatan visualisasi atau daya cipta terhadap keinginan itu.
Tahap berikutnya adalah rasa atau merasakan sesuatu yang tercipta dalam pikiran. Sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran seolah-olah sudah maujud dan kita dapat merasakan kehadirannya.
Setelah sesuatu tercipta dalam pikiran yang disusul dengan merasakan hasil ciptaannya, maka dilanjutkan dengan karsa atau berupaya mewujudkan keinginan tersebut secara nyata, sehingga dapat dilihat, disentuh dan dimanfaatkan (berdaya guna).
Cipta
Proses penerapan cipta ini menggunakan kekuatan pikiran dan imajinasi. Pada saat berdoa atau memohon kepada Tuhan, maka kita harus mengetahui apa yang kita minta atau mohonkan itu.Sehingga kita harus memahami arti dan makna dari doa-doa yang kita panjatkan.
Selain memanjatkan doa sebagaimana diatur dalam syariat agama, kita biasanya juga berdoa untuk hal-hal khusus yang diinginkan. Misalkan, keinginan memiliki pekerjaan, uang, rumah, pendamping hidup, dll. Umumnya doa itu diucapkan dalam bahasa ibu.
Dengan kata lain, ketika kita menginginkan sesuatu dalam kehidupan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah harus jelas apa yang sungguh-sungguh kita inginkan.
Agar daya cipta terhadap apa yang kita inginkan menjadi jelas, tulislah apa yang diinginkan tersebut dengan jelas. Tidak ada batasan terhadap apapun yang diinginkan, sepanjang untuk kebaikan sendiri. Buatlah skala prioritas dalam catatan keinginan dan tumbuhkan hasrat terhadap keinginan.
Kemudian lakukanlah visualisasi terhadap keinginan itu. Untuk mempermudah visualisasi, gunakanlah gambar atau foto. Katakanlah kita menginginkan rumah, maka ambillah gambar rumah, lalu letakkan di manapun kita dapat melihatnya setiap saat.
Gambar tersebut akan membantu kekuatan daya cipta terhadap apa saja yang kita inginkan. Visualisasi adalah salah satu daya cipta yang sangat kuat dalam benak kita. Ketika memvisualisasikan sesuatu, seolah-olah kita sedang membentuknya.
Rasa
Cara menerapkannya menggunakan kekuatan perasaan batin atau emosi jiwa. Setelah kita menggunakan daya cipta terhadap keinginan, maka dilanjutkan dengan merasakan dalam batin bahwa keinginan tersebut telah hadir dan dirasakan.
Inilah sebenarnya yang dimaksud agar dalam berdoa harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan yakin doanya pasti dikabulkan. Apapun permohonan kita tidaklah sulit bagi Tuhan untuk mengabulkannya. Kita harus selalu berprasangka baik kepada Tuhan, karena Tuhan mengikuti persangkaan hamba-hambaNya.
Sehingga kita harus percaya apa yang kita minta sudah menjadi milik kita dan telah menerimanya. Seseorang yang berdoa dengan keyakinan penuh seperti ini akan terlihat ekspresi wajahnya usai berdoa, yaitu diliputi perasaan bahagia, senang dan gembira. Meski saat berdoa tangan bergetar dan mata berlinang air mata. Sangatlah penting untuk merasa diri kita selalu dalam keadaan baik dan bahagia.
Pada intinya tidak boleh ada keraguan sedikitpun. Keraguan dapat merusak daya cipta dan perasaan kita sendiri. Karena itu, rasakan seolah-olah kita telah menerima apa yang kita inginkan. Itulah sebabnya, kita harus benar-benar berhasrat terhadap apapun yang diinginkan.
Seperti diuraikan sebelumnya, keinginan itu harus jelas dan jangan setengah-setengah. Misalkan, seseorang memiliki keinginan untuk bekerja di perusahaan pertambangan, tetapi dengan hasrat yang tidak terlalu menggebu-gebu atau sekadarnya saja.
Ketika kemudian keinginan itu tercapai, biasanya tidak akan betah bekerja di perusahaan tambang tersebut. Hal ini terjadi karena hasratnya memang tidak ada. Tentu sia-sia saja keinginan itu. Bahkan terkesan menolak pemberian Tuhan, meski sebelumnya orang itu yang meminta. Jadi jangan main-main dengan doa. Harus sungguh-sungguh.
Karsa
Karsa bermakna keinginan atau kemauan yang kuat. Apabila dalam tahap cipta dan rasa, keinginan-keinginan itu masih tak kasat mata, maka dalam tahap selanjutnya keinginan itu harus diupayakan maujud sehingga dapat dilihat, disentuh dan dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Karsa berarti kekuatan untuk mewujudkan keinginan tersebut menjadi nyata. Persoalannya adalah dengan cara bagaimana mewujudkannya?
Tugas kita sebenarnya bukanlah menemukan bagaimana caranya. Sebab cara itu akan muncul dengan sendirinya dari komitmen dan keyakinan pada apa yang diinginkan. Cara adalah urusan Tuhan.
Dengan kata lain, Tuhanlah yang selalu tahu cara tersingkat, tercepat dan terharmonis dalam mewujudkan keinginan kita. Jadi yang perlu dilakukan adalah bekerja (apapun pekerjaan itu) dengan perasaan sungguh-sungguh dan ikhlas dalam menjalaninya. Bersyukurlah dengan apa yang sudah dimiliki dan lakukan pekerjaan apa saja. Jangan diam atau duduk bermalas-malasan.
Meskipun tampak yang dikerjakan saat ini tidak sesuai dengan keinginan-keinginan yang diharapkan, tetapi yakinlah keinginan itu akan terwujud.
Kita bisa memulainya tanpa bekal apapun, serta tanpa tahu jalan mana yang harus dilalui. Tuhan yang akan membuatkan jalan untuk mencapai keinginan kita. Sebab Tuhan akan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Harap difahami, ketiga istilah tersebut tidak harus berurutan. Bisa saja dimulai dari cipta, karsa, rasa atau rasa, cipta, karsa atau karsa, cipta, rasa. Bebas-bebas saja.
Demikian sekelumit rahasia kekuatan cipta, rasa dan karsa. Ketiga istilah tersebut merupakan warisan para leluhur negeri ini dan pernah menghasilkan peradaban besar.
Cipta Rasa Karsa teori pertama
Mungkin banyak darikita pernah mendengar kata-kata TRIDAYA yaitu Cipta, Rasa dan Karsa. Tetapi sangat sedikit dari kita memahami secara mendalam tentang Tridaya ini. Inilah sebuah kekuatan maha dahsyat yang ada pada diri kita yaitu kekuatan Cipta, Rasa dan Karsa/Kehendak. Kekuatan inilah yang sebenarnya menggerakkan setiap aktifitas yang kita lakukan setiap hari mulai dari bangun tidur yaitu saat pertama kali kaki menginjak tanah/lantai hingga saat ketika kita melepas semua kepenatan hidup dan membaringkan tubuh kita untuk tertidur lelap.
Semuanya itu adalah berkat kreasi dari Tridaya ini. Apakah Tridaya itu? Inilah yang ingin kita ulas dalam tulisan ini. Semoga ada manfaatnya.
Cipta ialah kekuatan yang membuat gambar-gambar terhadap rencana dan segala sesuatu yang telah terjadi berupa Citraan (gambaran) yang ada di benak kita.
Rasa ialah kekuatan halus yang menyelimuti dan menyatu dari setiap gambar-gambar atau citraan terhadap segala sesuatu yang membawa kesan, hal ini sering kita namakan perasaan (emosi pribadi).
Karsa atau kehendak/tekad. Inilah kekuatan yang menggerakkan segala Cipta dan Rasa itu menjadi terlaksana.
Bagi orang-orang yang telah mengenal diri pribadinya, seharusnya sudah bisa mengatur Tridaya ini sehingga menjadi suatu kekuatan yang manunggal/menyatu. Dalam bukunya Karya Agung, Ki Ageng Nitiprana menjelaskan bahwa sangat sulit untuk menentukan dari ketiga daya ini yang bergerak lebih dahulu. Memang ada kalanya Cipta, adakalanya Rasa, tapi ada kalanya juga Karsa/tekad yang menggerakkan kekuatan-kekuatan yang menimbulkan pekerti dalam diri kita.
Untuk mendapatkan pembuktian dari kekuatan Tridaya yang ada dalam diri kita, alangkah baiknya setiap dari kita selalu meneliti atas tindak-tanduk dan perbuatan yang kita lakukan. Apakah tindakan yang kita perbuat bermula dari adanya Cipta, Rasa atau Karsa. Hal ini diperlukan untuk bisa lebih memahami kekuatan yang lebih dominan dalam diri kita. Apakah Cipta, Rasa atau Karsa yang muncul lebih dahulu? Hal ini penting, sehingga dikemudian hari kita lebih bisa memanfaatkan kekuatan Tridaya tersebut agar lebih optimal. Untuk memudahakan memahami masalah tridaya ini, kita bisa lihat dari contoh berikut;
Sebagai contoh ada seseorang bernama si fulan yang sudah mengenal diri pribadinya, mencoba mendapatkan apa yang ia cita-citakan. Ia mencita-citakan ingin mendirikan sebuah penerbitan. Si fulan yang saat itu tidak mengetahui sama sekali tentang penerbitan kemudian menggunakan Ciptanya. Ia mulai menggambarkan dalam batinnya sebuah buku yang bisa ia cetak dan terbitkan sendiri, ia menggambar detail dari proses membuat buku tersebut. Tetapi karena tidak didukung dua kekuatan tridaya yang lainnya maka cita-citanya tersebut agak tersendat. Kemudian ia memperbaiki caranya. Pada saat menggambar kembali terhadap cita-citanya tersebut, ia mengikutsertakan kekuatan Karsa/kehendak yang menggebu-gebu, sehingga muncullah perasaan yang menyelimutinya atas cita-cita itu. Jadi setelah Tridaya itu menyatu, antara gambar yang ia buat, kemudian tekad yang membaja, serta persaan yang membuat yakin atas cita-citanya maka seketika itu pintu terbuka dan dihadapan terbuka jalan untuk mewujudkan cita-citanya, seakan dimudahkan proses terwujudnya mendirikan penerbitan, ia melaluinya dengan mudah. Sehingga cita-citanya terwujud dan menjadi kenyataan.
Jadi setiap orang dan setiap kasus berbeda-beda dalam menggunakan Tridaya ini. Hampir setiap hari, setiap detik kita menggunakan kekuatan tridaya, tapi sayangnya kita tidak pernah memperhatikan prosesnya dan menyadarinya. Apabila kita mampu mengelolanya dengan baik sehingga mampu memanunggalkan tridaya tersebut, maka tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Kita adalah mahluk yang paling sempurna, dan mendapat mandat sebagai khalifahNya. Maka kita dan Tuhan berkreasi bersama di Bumi ini untuk kemajuan dan keharmonisan alam semesta.
Dalam perkara yang lebih luhur lagi, bagi mereka yang sudah mengenal NUR ILAHI disaat mi’raj. Dapat menggunakan dan membiasakan kekuatan Tridaya ini untuk bisa manunggal saat memasuki alam keluhuran. Bisa menggunakan kendaraan Cipta, Rasa atau Karsa disaat memulai memasuki alam keluhuran tersebut. Hingga tiba saat dimana Tridaya ini kita tinggalkan. Bila sudah tiba waktu yang tepat dan saat yang tepat, kekuatan Tridaya ini luluh dengan sendirinya menjadi kekuatan TRIDAYA SANG MAHA AGUNG. Tidak ada lagi cipta, rasa dan karsa insan. Kepasrahan total, yang menarik kuat untuk terus memasuki lorong-lorong CAHAYA. Hingga hampa tak ada apa dan siapa, suwung dalam hening yang membahagiaakan. Cahaya tanpa warna, berkilau tanpa dapat diberi nama lagi.
BELAJAR DARI ALAM SEMESTA
Disadari ataupun tidak, Gusti Ingkang Maha Agung senantiasa memberikan banyak gambaran pada manusia lewat ciptaanNYA. Tetapi kebanyakan manusia ‘tidak berpikir’ sehingga keberadaan alam ciptaanNYA ini kelihatan biasa-biasa saja.
Gusti Ingkang Maha Agung kurang lebih memberi penjelasan yang intinya: “Berjalan-jalanlah kamu dimuka bumi. Maka kamu akan melihat kekuasaanKU”. Artinya, kita harus cerdas dan cermat dalam mengamati keberadaan alam semesta itu. Dengan begitu, kita akan bisa merasa dekat dengan Gusti Ingkang Maha Agung.
Sebenarnya, sangat mudah untuk menikmati keindahan alam. Orang bisa meluangkan waktu dengan bertamasya, wisata ke pegunungan, pantai dan lain-lain. Dalam hal menikmati alam, pandangan antara anak kecil dan orangtua (sudah berumur) akan berbeda. Coba sesekali perhatikan anak kecil yang tengah berjalan-jalan dan tiba-tiba mereka melihat sungai yang airnya mengalir deras.
Pasti, tanpa pikir panjang ia akan kepingin untuk mandi di kali itu.
Tapi berbeda dengan orangtua dalam menikmati alam. Para orangtua itu cenderung tidak melihat keindahan dari sungai itu. Yang indah bagi orangtua ataupun orang yang sudah dewasa adalah duit. Kemanapun mata memandang, yang dipikirkan hanyalah duit dan dunia. Padahal yang dilihat indah itu adalah fana dan bakal berubah. Itulah perbedaan antara anak kecil dan orang tua/dewasa dalam memandang keindahan alam.
Banyak sekali yang bisa kita pelajari dari alam. Kita bisa belajar tentang ilmu kesabaran, ilmu kesetiaan, ilmu kepasrahan, ilmu diam dan banyak ilmu lainnya. Bagaimana bisa?. Lihat penjelasan berikut ini.
Belajar Kesabaran
Kalau hendak belajar ilmu kesabaran, maka kita hendaknya belajar pada Bumi yang kita injak setiap harinya ini. Bayangkan, bumi ini tidak pernah mengeluh meskipun diinjak-injak ratusan juta manusia. Bumi juga tidak pernah tersinggung meskipun diludahi, dikencingi bahkan menjadi tempat buangan kotoran manusia. Ia akan dengan sabar menerima semuanya. Kesabaran apalagi yang bisa mengalahkan bumi ciptaan Gusti Ingkang Maha Agung itu? Tapi kalau manusia berbuat semena-mena terhadap bumi, maka Sang PENCIPTA akan marah dan bumi bakal menggulung dan menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Contohnya, tanah longsor dan lainnya.
Belajar Kesetiaan
Jika hendak belajar ilmu kesetiaan, tidak ada salahnya kita belajar pada matahari. Belajar dalam hal ini bukan berarti menyembah matahari. Tidak! Tetapi kita cukup melihat, merasakan dan mencontoh kesetiaan matahari yang juga ciptaan Gusti Ingkang Maha Agung. Matahari adalah tempat belajar ilmu kesetiaan karena ia dengan setia senantiasa hadir dari Timur dan terbenam di Barat setiap hari.
Matahari tidak pernah ingkar janji untuk tidak terbit. Ada orang yang guyon dengan mengatakan, lha kalau mendung bagaimana? Meski mendung, matahari tetap bersinar meski tertutup mendung. Bukankah ia terus setia?
Belajar Kepasrahan dan Nerimo (Ikhlas)
Jika Anda ingin belajar ilmu kepasrahan dan nerimo (ikhlas), maka tidak ada salahnya belajar pada laut. Laut yang diciptakan Gusti Ingkang Maha Agung adalah tempat mengalirnya beribu-ribu sungai di dunia ini. Kotoran apapun yang dilemparkan manusia lewat sungai, pasti akan mengalir ke laut. Dan laut akan pasrah menerima barang-barang buangan itu. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun.
Laut juga akan ikhlas menerima semua air, kotoran atau benda-benda apapun yang mengalir lewat sungai. Keikhlasan yang ditunjukkan oleh laut adalah keikhlasan semuanya karena Gusti Ingkang Maha Agung.
Belajar Ilmu dari Tumbuhan
Kita juga harus belajar dari tumbuhan. Apa alasannya? Alasannya jelas, karena tumbuhan sejak dari bibit ia hidup, ia cenderung diam. Tapi tahu-tahu lama kelamaan tumbuhan itu menjadi besar dan memberi manfaat bagi si penanamnya. Bayangkan, sebuah tumbuhan saja tahu cara menghargai dan berterimakasih pada orang yang merawatnya. Sedangkan kita manusia ini yang disebut makhluk mulia oleh Gusti Ingkang Maha Agung, malah tidak bisa menghargai dan berterimakasih pada Gusti Ingkang Maha Agung yang telah merawat kita. Apa layak kita disebut sebagai manusia Rahmatan Lil-alamin (manusia yang menjadi rahmat bagi alam semesta)?
Kalau kita menghormati alam, berarti kita juga mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Gusti Ingkang Maha Agung. Bukan malah kita memper-TUHAN-kan alam.
Salam santun
KI HADI SURYO PAMUNGKAS
Sabtu, 28 Juni 2014
Mistis Dan Klenik
Mistisisme berhubungan dengan apa yang dirasakan manusia dengan batinnya, dengan rasa, dengan rohnya. Mistis adalah segala sesuatu kejadian atau fenomena dalam kehidupan yang ditangkap manusia dengan batinnya, dengan rasa, dengan rohnya, mengenai segala sesuatu yang dirasakan dan diyakini nyata dan ada, tetapi tidak tampak mata, tidak dapat secara langsung diinderai oleh panca indra manusia. Mistisisme adalah kepercayaan seseorang yang meyakini tentang sesuatu yang tidak tampak mata, tetapi ada, karena bisa diinderai dengan rasa dan batin. Mistisisme tidak sama dengan mitos dan tahayul, yang tidak dapat diinderai dengan rasa dan batin, yang manusia bisanya hanya percaya atau tidak saja.
Sesuai kodrat dan hakekatnya sebagai mahluk duniawi dan illahi, sesuai tujuan awal penciptaan manusia, manusia dibekali dengan akal budi dan roh, bukan hanya insting dan naluri untuk hidup dan bertahan hidup (hewan), sehingga manusia dapat mengenal dirinya sendiri, mengenal peradaban dan mengenal Tuhan yang harus disembah. Dengan rohnya, manusia mengenal roh-roh lain dan kegaiban, dan mengenal “Tuhan” atau “tuhan-tuhan”, suatu pribadi agung yang berkuasa bukan hanya atas dirinya dan hidupnya, tetapi juga atas kehidupan seluruh alam, walaupun dalam niatan menyembah Tuhan manusia banyak jatuh
ke jalan penyembahan yang salah.
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai makluk duniawi yang dibekali dengan akal budi dan roh, sehingga bisa mengenal kegaiban, mengenal mistis. Dan itu berlaku untuk semua manusia, dimana pun mereka berada, bukan hanya di timur dan di barat, tetapi juga di belahan bumi utara, tengah dan selatan. Tetapi masing-masing fenomena gaib dan keyakinan mistisisme berbeda sifat dan wujudnya, sesuai tempat dan peradaban masing-masing manusia.
Termasuk juga kehidupan manusia di negara-negara maju, yang sebelum munculnya agama modern dan rasionalisasi berpikir manusia, mereka hidup dalam nuansa penuh mistis. Walaupun semua yang mistis tidak harus disembah, tetapi mereka bisa merasakannya dan meyakininya benar ada. Dan keyakinan itu menyertai kehidupan mereka sehari-hari, walaupun tidak selalu tampak di permukaan.
Berkembangnya pengaruh agama-agama modern telah merubah / menyetir sikap berpikir manusia tentang perlakuan manusia terhadap mahluk halus. Yang semula memperlakukan mahluk-mahluk halus dengan istimewa, kemudian menjadi menjauhinya. Bahkan hubungan antara manusia dengan mahluk halus seringkali dinyatakan sebagai sesuatu yang “haram”. Ajaran agama-agama modern tidak menghapuskan kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib, hanya dibelokkan saja. Yang semula manusia mengagungkan mahluk-mahluk halus dan segala sesuatu yang gaib, kemudian dinyatakan dilarang, tetapi kemudian diharuskan mengagungkan “Tuhan”, sesuatu yang juga gaib, yang diyakini ada, yang diyakini sebagai penguasa alam dan kehidupan, yang diyakini tidak hanya berkuasa atas hidup manusia, tetapi juga berkuasa atas seluruh mahluk gaib.
Berkembangnya rasionalisasi berpikir manusia adalah yang paling banyak merubah sikap berpikir manusia mengenai hal-hal gaib. Walaupun dalam hati kecilnya mereka tetap meyakini adanya gaib, tetapi dalam kesehariannya mereka tidak mau berhubungan dengan hal-hal gaib. Memikirkannya saja tidak. Segala sesuatu harus dapat dibuktikan secara rasional. Kalau tidak dapat dibuktikan secara rasional, berarti itu hanya tahayul / mitos. Mereka tidak mau hidup dalam dunia tahayul. Mereka memilih hidup mengandalkan kemampuan manusia, mengandalkan kemampuan berpikir manusia yang rasional. Kehidupan dan masa depan ada di tangan manusia, tidak mau lagi hidup dalam mitos dan tahayul.
Kehidupan berkebatinan orang Jawa yang masih memelihara rasa dan batin, mendorong mereka untuk hidup penuh mistis, penuh dengan kepercayaan tentang hal-hal gaib dan mahluk halus. Walaupun bukan berarti menyembah mahluk halus, tetapi mereka percaya bahwa mahluk halus benar ada dan mereka menghormati itu.
Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang mereka miliki akan mereka syukuri sebagai karunia Allah. Mereka percaya adanya ‘berkah’ dari roh-roh, alam dan Tuhan, dan kehidupan mereka akan lebih baik bila mereka ‘keberkahan’. Karena itu dalam budaya Jawa dikenal adanya upaya untuk selalu menjaga perilaku, kebersihan hati dan batin dan ditambah dengan laku prihatin dan tirakat supaya hidup mereka diberkahi. Melakukan pemberian sesaji, ritual bersih desa, ruwatan sengkolo, syukuran, selametan, dsb, sudah menjadi tradisi sehari-hari yang dilakukan supaya hidup manusia keberkahan dan lancar dalam segala urusan.
Secara kebatinan dan spiritual, mereka percaya bahwa kehidupan manusia di alam ini hanyalah sementara, yang pada akhirnya nanti akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila hanya sendiri dan dengan kekuatannya sendiri, adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana. Karena itulah manusia harus bersandar pada kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi (roh-roh dan Tuhan), beradaptasi dengan lingkungan alam yang merupakan rahmat dari Tuhan dan memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Kepercayaan kepada roh-roh dan Tuhan ini seringkali dikonotasikan sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme, yang kontras dengan ajaran agama.
Kehidupan kebatinan dan spiritual masyarakat Jawa itu dilandasi oleh kesadaran-kesadaran :
- Kesadaran adanya Tuhan, sebagai pencipta dan penguasa alam semesta.
- Kesadaran adanya hubungan antara manusia dengan alam dan seluruh isinya.
- Kesadaran kebersamaan sebagai sesama mahluk hidup ciptaan Tuhan, yang melandasi hubungan antar
sesama manusia dan hubungan manusia dengan mahluk lain yang nyata maupun yang tidak tampak mata.
Kesadaran-kesadaran tersebut merupakan landasan utama dalam ’kawruh kejawen’ dan mengisi hidupnya orang Jawa, menjadi budaya Jawa yang mencakup kepercayaan dan spiritualisme, falsafah hidup, tradisi dan laku budaya, sistem organisasi kemasyarakatan yang kekeluargaan, bahasa dan aksara, dan seni budaya.
Mistisisme berbeda dengan klenik. Klenik berhubungan dengan praktek / perbuatan yang berhubungan dengan kegaiban atau praktek yang menciptakan kejadian gaib, yang bukan kejadian biasa, bukan kejadian yang alami. Istilah klenik berhubungan dengan ilmu gaib / khodam dan sihir atau praktek
perdukunan. Dan mistisisme dalam kehidupan orang Jawa tidak dapat secara langsung disamakan dengan perilaku klenik, karena sekalipun percaya dengan hal-hal gaib, tetapi tidak semuanya menjalankan perbuatan klenik. Dan klenik ini tidak hanya ada di Jawa, tetapi juga ada di tempat-tempat dan negara-negara lain di belahan bumi manapun, dan bisa dilakukan oleh semua orang, termasuk oleh orang-orang yang agamis.
Langganan:
Postingan (Atom)